Ibni Ulhusna : Belajar itu Tuntutan Hidup!
oleh NiaMahesa
Keringat yang menetes tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum dibibirnya
saat kami bertemu. Raut wajahnya sedikit lelah, namun ia tak menggubrisnya. Dari
samping kos-kosan yang tidak begitu besar namun, nyaman lah untuk ditinggali. Panggil
saja namanya ibni, ia bercerita tentang idealismenya dalam menuntut
ilmu.
Perempuan berumur 21 tahun ini sekarang tercatat sebagai
mahasiswa jurusan
kesehatan masyarakat di UNAND. Namun, pada
tahun 2007-2008, ia tak lebih
dari seorang siswa lulusan SMK N 2 Padang yang bimbang
tentang masa depannya. Ketika
ia lulus dari SMK ia telah bekerja di Mini Market Melati. Pada saat itu,
gaji bulanan telah ia dapatkan sebagai seorang kasir di kawasan Mata Air Padang.
Mimpi untuk
melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi tentu merupakan sebuah
dilema karena kuliah akan membuatnya mengorbankan pekerjaannya. Hal itu belum
termasuk biaya kuliah yang harus ia tanggung. Mengandalkan orang tua jelas tak
mungkin. Profesi ayahnya sebagai petani sayur di kampungnya, hanya cukup untuk membiayai kebutuhan
sehari-hari sekaligus sekolah adiknya. Sebagai sulung, ‘anak SMK’ ini
diharapkan mampu membantu keluarga secara finansial, setidaknya dengan cara
mencukupi kebutuhan pribadinya sendiri. Namun, sekali lagi, ia ingin kuliah.
Mengapa ia
begitu ingin kuliah? Bukankah orang tuanya menyekolahkan di SMK agar cepat
bekerja?
“Mengikuti kata
hati. Saat itu bukan lagi pertimbangan-pertimbangan sulit dan memusingkan, tetapi sudah dalam
tataran jiwa. Saat itu pun sudah kerja, tetapi memang ‘keinginan’ ada di
kuliah. Jadi, itulah pilihannya,” jawab perempuan yang akrab dipanggil Ibni ini.
Awal April 2008 merupakan momen penting baginya. Saat itu, menetapkan hati untuk serius menggapai
cita-cita mengenyam bangku kuliah. Berbekal gajinya sebagai seorang kasir, perempuan yang
berdomisili di cendana, Mata Air, ini nekat
masuk bimbingan belajar (bimbel) untuk memahami pelajaran IPA SMA. Waktu
luang sekecil apapun dimanfaatkannya untuk belajar, baik di tempat ia bekerja maupun di dalam Angkot. Targetnya
jelas: lulus SNMPTN UNAND 2008.
Tiga bulan
menjadi anak SMA sambil menjalani pekerjaan sebagai kasir terlihat
seperti sebuah kegilaan tersendiri bagi Ibni. Sempat ia berpikir bahwa ini merupakan suatu hal yang sia-sia. Realitas yang
hadir dalam wacana ‘bagaimana bayar biayanya?’ hadir untuk menghalangi
idealisme yang mulai berkembang.
“Sebetulnya
harapan saya sudah punah saat itu. Dan itu berhubungan dengan materi (biaya).
Namun, kali ini pembimbing bimbel saya berkata dengan lantang, ‘Duit nanti aja dipikirin. Sekarang
fokus belajar!! Emang, lu udah yakin bisa lolos?’ Ucapannya bikin saya semangat lagi,” kenangnya.
Untuk
membentengi diri dari pesimisme yang mulai melanda, ia mencari dukungan
sana-sini. Suatu
acara Talk Show Kick Andy di Metro
TV, cerita seorang mahasiswa luar kota yang berhasil masuk UI dengan biaya
pas-pasan yang orang tuanya hanya seorang buruh cuci, serta nasihat dari
seorang teman nyatanya berhasil mendongkrak motivasinya hingga ia ‘kembali ke
jalan yang benar’. Ibni kembali
memaknai kekuatan sebuah mimpi yang belakangan dianggap klise bagi sebagian
orang. Ia dengan bersemangat menggapai mimpi itu agar menjadi suatu kenyataan
yang bisa diraih.
Waktunya tiba. Juli 2008, ia menjalani
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN). Di lokasi
ujian, ia sempat bertemu teman lama satu sekolah yang ternyata memiliki
‘kegalauan’ yang sama untuk banting setir dari dunia teknik. Bersama-sama,
mereka berdoa agar dapat bertemu lagi sebagai mahasiswa di kampus yang sama.
Segala puji
bagi-Nya. Beberapa bulan setelah ujian, Ibni dinyatakan masuk UNAND. “Waktu itu, saya
langsung sujud syukur dan mengucapkan
alhamdulillah tiada hentinya kepada Allah SWT.” Sambil tetap berdoa, dia bersiap untuk menyempurnakan ikhtiarnya. Ia mengundurkan
diri dari pekerjaannya, meminta keringanan biaya dari pihak kampus, serta
memikirkan pekerjaan sambilan agar dapat membiayai kuliahnya. Selain itu,
program beasiswa dari pemerintah pun dibidiknya.
Tuhan tak ragu
mencurahkan rizki padanya. Saat ia melayangkan permintaan pengunduran diri,
atasan justru membolehkannya tetap bekerja sambil menyesuaikan dengan jadwal
kuliah. Ibni tak kehilangan
penghasilan bulanannya. Rencananya didengarkan oleh Sang Mahapencipta.
Rejeki lain datang.
Biaya kuliah yang tadinya 3 juta rupiah
sebagai uang pangkal dan 2 juta rupiah
lagi sebagai biaya kuliah per semester ‘terpangkas’ menjadi 750 ribu rupiah
(uang pangkal) dan uang kuliah per
semester yang gratis. “Ini karena saya menunjukkan
surat kemiskinan
saya, hahahaha….” Ibni tergelak.
Kedua rizki di
atas akhirnya sempurna oleh rizki ketiga. Ibni mendapatkan Beasiswa prestasi dari kampus sebesar Rp 2 juta. “Setengahnya untuk biaya kuliah dan
setengahnya lagi saya kirim untuk orang tua di kampung.” tutur Ibni.
Apa rahasia
dibalik pencapaiannya selama ini?
“Rahasianya
nggak ada...kecuali yakin sama kekuatan dahsyat kita sendiri dan percaya bahwa
hasilnya nanti adalah yang terbaik buat kita. Nothing to
lose, istilahnya.”
Sebagai penutup
perbincangan kami siang itu, dengan tatapan matanya yang cerah dan senyumnya
yang khas, Ibni berpesan untuk
anak sekolah yang mengalami keterbatasan biaya namun tetap ingin melanjutkan
pendidikannya.
“Ketika masih
dalam usia anak dan remaja, jangan pernah berpikir bahwa bekerja lebih baik
ketimbang belajar (sekolah). Belajar itu wajib, musti, harus. Belajar itu tuntutan hidup. Belajar itu sampai akhir hayat. Berusahalah
terus untuk bersekolah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar