Kamis, 12 Januari 2012

Ibni Ulhusna : Belajar itu Tuntutan Hidup!


Ibni Ulhusna : Belajar itu Tuntutan Hidup!
oleh NiaMahesa

Keringat yang menetes tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum dibibirnya saat kami bertemu. Raut wajahnya sedikit lelah, namun ia tak menggubrisnya. Dari samping kos-kosan yang tidak begitu besar namun, nyaman lah untuk ditinggali. Panggil saja namanya ibni, ia  bercerita tentang idealismenya dalam menuntut ilmu.
Perempuan  berumur 21 tahun ini sekarang tercatat sebagai mahasiswa jurusan kesehatan masyarakat di UNAND. Namun, pada tahun 2007-2008, ia tak lebih dari seorang siswa lulusan SMK N 2 Padang yang bimbang tentang masa depannya. Ketika ia lulus dari SMK ia telah bekerja di Mini Market Melati. Pada saat itu, gaji bulanan telah ia dapatkan sebagai seorang kasir di kawasan Mata Air Padang.
Mimpi untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi tentu merupakan sebuah dilema karena kuliah akan membuatnya mengorbankan pekerjaannya. Hal itu belum termasuk biaya kuliah yang harus ia tanggung. Mengandalkan orang tua jelas tak mungkin. Profesi ayahnya sebagai petani sayur di kampungnya, hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sekaligus sekolah adiknya. Sebagai sulung, ‘anak SMK’ ini diharapkan mampu membantu keluarga secara finansial, setidaknya dengan cara mencukupi kebutuhan pribadinya sendiri. Namun, sekali lagi, ia ingin kuliah.
Mengapa ia begitu ingin kuliah? Bukankah orang tuanya menyekolahkan di SMK agar cepat bekerja?
“Mengikuti kata hati. Saat itu bukan lagi pertimbangan-pertimbangan sulit dan memusingkan, tetapi sudah dalam tataran jiwa. Saat itu pun sudah kerja, tetapi memang ‘keinginan’ ada di kuliah. Jadi, itulah pilihannya,” jawab perempuan yang akrab dipanggil Ibni ini.
Awal April  2008 merupakan momen penting baginya. Saat itu,  menetapkan hati untuk serius menggapai cita-cita mengenyam bangku kuliah. Berbekal gajinya sebagai seorang kasir, perempuan yang berdomisili di cendana, Mata Air, ini nekat masuk bimbingan belajar (bimbel) untuk memahami pelajaran IPA SMA. Waktu luang sekecil apapun dimanfaatkannya untuk belajar, baik di tempat ia bekerja maupun di dalam Angkot. Targetnya jelas: lulus SNMPTN UNAND 2008.
Tiga bulan menjadi anak SMA sambil menjalani pekerjaan sebagai kasir terlihat seperti sebuah kegilaan tersendiri bagi Ibni. Sempat ia berpikir bahwa ini merupakan suatu hal yang sia-sia. Realitas yang hadir dalam wacana ‘bagaimana bayar biayanya?’ hadir untuk menghalangi idealisme yang mulai berkembang.
“Sebetulnya harapan saya sudah punah saat itu. Dan itu berhubungan dengan materi (biaya). Namun, kali ini pembimbing bimbel saya berkata dengan lantang, ‘Duit nanti aja dipikirin. Sekarang fokus belajar!! Emang, lu udah yakin bisa lolos?’ Ucapannya bikin saya semangat lagi,” kenangnya.
Untuk membentengi diri dari pesimisme yang mulai melanda, ia mencari dukungan sana-sini. Suatu acara Talk Show Kick Andy di Metro TV, cerita seorang mahasiswa luar kota yang berhasil masuk UI dengan biaya pas-pasan yang orang tuanya hanya seorang buruh cuci, serta nasihat dari seorang teman nyatanya berhasil mendongkrak motivasinya hingga ia ‘kembali ke jalan yang benar’. Ibni kembali memaknai kekuatan sebuah mimpi yang belakangan dianggap klise bagi sebagian orang. Ia dengan bersemangat menggapai mimpi itu agar menjadi suatu kenyataan yang bisa diraih.
Waktunya tiba. Juli 2008, ia menjalani Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Di lokasi ujian, ia sempat bertemu teman lama satu sekolah yang ternyata memiliki ‘kegalauan’ yang sama untuk banting setir dari dunia teknik. Bersama-sama, mereka berdoa agar dapat bertemu lagi sebagai mahasiswa di kampus yang sama.
Segala puji bagi-Nya. Beberapa bulan setelah ujian, Ibni dinyatakan masuk UNAND. “Waktu itu, saya langsung sujud syukur dan mengucapkan alhamdulillah tiada hentinya kepada Allah SWT.” Sambil tetap berdoa, dia bersiap untuk menyempurnakan ikhtiarnya. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya, meminta keringanan biaya dari pihak kampus, serta memikirkan pekerjaan sambilan agar dapat membiayai kuliahnya. Selain itu, program beasiswa dari pemerintah pun dibidiknya.
Tuhan tak ragu mencurahkan rizki padanya. Saat ia melayangkan permintaan pengunduran diri, atasan justru membolehkannya tetap bekerja sambil menyesuaikan dengan jadwal kuliah. Ibni tak kehilangan penghasilan bulanannya. Rencananya didengarkan oleh Sang Mahapencipta.
Rejeki lain datang. Biaya kuliah yang tadinya 3 juta rupiah sebagai uang pangkal dan 2 juta rupiah lagi sebagai biaya kuliah per semester ‘terpangkas’ menjadi 750 ribu rupiah (uang pangkal) dan uang kuliah per semester yang gratis. “Ini karena saya menunjukkan surat kemiskinan saya, hahahaha….” Ibni tergelak.
Kedua rizki di atas akhirnya sempurna oleh rizki ketiga. Ibni mendapatkan Beasiswa prestasi dari kampus sebesar Rp 2 juta. “Setengahnya untuk biaya kuliah dan setengahnya lagi saya kirim untuk orang tua di kampung.” tutur Ibni.
Apa rahasia dibalik pencapaiannya selama ini?
“Rahasianya nggak ada...kecuali yakin sama kekuatan dahsyat kita sendiri dan percaya bahwa hasilnya nanti adalah yang terbaik buat kita. Nothing to lose, istilahnya.”
Sebagai penutup perbincangan kami siang itu, dengan tatapan matanya yang cerah dan senyumnya yang khas, Ibni berpesan untuk anak sekolah yang mengalami keterbatasan biaya namun tetap ingin melanjutkan pendidikannya.
“Ketika masih dalam usia anak dan remaja, jangan pernah berpikir bahwa bekerja lebih baik ketimbang belajar (sekolah). Belajar itu wajib, musti, harus. Belajar itu tuntutan hidup. Belajar itu sampai akhir hayat. Berusahalah terus untuk bersekolah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar