Kamis, 12 Januari 2012

UPACARA ADAT PERNIKAHAN BATU SANGKA DI RAMBATAN SUMATERA BARAT


UPACARA ADAT PERNIKAHAN BATU SANGKA DI RAMBATAN SUMATERA BARAT

Suku asli masyarakat Sumatera Barat adalah Minangkabau.  Setiap daerah mempunyai kekhasan adat  tersendiri, baik dari segi upacara pernikahan, upacara kematian, upacara turun mandi dan lain sebagainya. Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal dan jodoh harus dipilih di luar dari suku. Hal yang sama berlaku di Batu Sangka daerah Rambatan. Upacara pernikahan di daerah ini di lakukan di dua tempat yaitu Rumah Mempelai dan Rumah Adat. Acara Ijab Qabul boleh dilaksanakan di Rumah, KUA atau Mesjid (Surau). Uang mahar yang wajib adalah seperangkat alat sholat yang diserahkan waktu Ijab Qabul. Ijab Qabul dilaksanakan sebelum acara pernikahan.   
Menurut Martanijus salah satu warga Rambatan, “Pihak anak daro pergi ke Rumah Gadang Marapulai setelah sholat Isya dengan membawa dulang  berisi rendang rabu dua puluh enam potong dipotong prsegi, satu ekor ayam gulai, sembilan belas potong rendang dan enam mangkok nasi. Anak daro diwajibkan memakai baju kurung berwarna hitam dengan dukuah jariang dan maniak polan serta hiasan kepala tangkuluak tanduak sedangkan Marapulai harus memakai saluak. Sesampainya di sana, istri datuak dari pihak marapulai yang bergelar malin pantan bertugas menerima dulang yang dibawa pihak anak daro. Kedua pihak ini duduk di dalam Rumah Gadang membentuk dua lingkaran, antara pihak anak daro dan marapulai ada terpisah atau sedikit dijarakkan. Malin pantan menghidangkan atau menata makanan kepada pihak perempuan. Makanan yang harus ada, seperti sambal belut, sambal telur dan sambal ikan laut. Setelah acara makan basamo selesai, niniak mamak dari kedua belah pihak berpidato atau babaleh pantun untuk membawa marapulai ke Rumah Gadang pihak anak daro. Marapulai ditemani oleh orangtua, datuak, niniak mamak, sumando, angku rumah dan penghulu”. Pemuka adat masih berfungsi sebagaiamna mestinya dan bertanggung jawab atas amanah yang diembankan kepada mereka. Mereka tidak hanya menjadi simbol  dalam kaum namun juga membimbing kaumnya untuk tetap menhargai adat dan budaya.  
Djahidin merupakan datuak Rambatan menjelaskan “Pihak marapulai membawa hadiah untuk anak daro sebagai balasan yang dibawa oleh pihak anak daro. Hadiah tersebut berupa handuk, bahan pangan dan Bad Cover. Setibanya di Rumah Gadang, niniak mamak dari kedua belah pihak berpidato atau berpantun untuk membuka acara makan dan minum bersama sedangkan anak daro sudah pulang ke rumahnya. Selanjutnya marapulai berpantun kepada niniak mamak perempuan untuk meminta restu. Marapulai tinggal di Rumah Gadang anak daro selama satu hari, sedangkan para prngiringnya berpamitan kepada pihak anak daro dengan cara berpantun atau disebut dengan pantun kapulang”.
Upacara pernikahan yang dilakukan di Rumah Gadang hanya untuk orang dalam atau kedua belah pihak (anak daro dan marapulai) memang berasal dari daerah Rambatan. Apabila salah satu dari kedua belah pihak berasal dari luar daerah tersebut maka pihak yang berasal dari luar harus mambali suku kepada salah satu kaum yang berbeda suku dengan calon mempelainya. Meskipun hal ini terlihat sulit, namun tetap ada orang yang mau mambali suku. Keunikan seperti ini tidak mudah didapatkan. Di Minangkabau tidak semua daerah yang masih memakai adat seperti ini.    
Erin merupakan putri asli Rambatan menyatakan, “Acara pernikahan (baralek) di rumah dilaksanakan setelah acara di Rumah Gadang selesai.  Baju adat yang dipakai anak daro adalah baju anak daro dan hiasan kepalanya memakai suntiang. Marapulai memakai baju adat marapulai dengan hiasan kepala bernama saluak. Tamu yang datang adalah orang-orang jauh atau sanak jauah. Basaluang dilakukan pada malam hari untuk menghibur tamu. Di sinilah anak daro dan marapulai bersanding (basandiang duo) di pelaminan”.
Upacara pernikahan di Batu Sangka khususnya daerah Rambatan masih sangat kental dengan budaya dan adat Minang. Budaya dan adat sangat dihargai dan dilaksanakan semestinya di Rambatan. Fenomena seperti ini sudah jarang kita temukan di zaman sekarang meskipun di ranah Minang. Kita selalu mengaku sebagai orang Minang tapi pada kenyataannya kita tidak mengerti adat dan budaya Minang. Tragisnya ketidaksadaran menutup mata kita bahwa kita telah mengganti budaya kita sendiri dengan budaya asing.
Upacara pernikahan di Kambang Kabupaten Pesisir Selatan hanya dilaksanakan pada satu tempat, yaitu di rumah. Upacara pernikahan tidak lagi dilaksanakan di Rumah Gadang karena sudah tidak layak pakai. Tidak ada satu orangpun yang peduli dengan keadaan itu. Rumah Gadang diganti dengan Hidangan Prancis. Entah dari mana kata itu berasal. Itulah potret kehidupan sekarang. Agar hal ini tidak berkelanjutan sebaiknya setiap individu mengintropeksi diri sendiri. Siapa saya dan di mana saya berpijak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar