UPACARA ADAT PERNIKAHAN BATU SANGKA DI
RAMBATAN SUMATERA BARAT
Suku
asli masyarakat Sumatera Barat adalah Minangkabau. Setiap daerah mempunyai kekhasan adat tersendiri, baik dari segi upacara
pernikahan, upacara kematian, upacara turun mandi dan lain sebagainya. Suku
dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal dan jodoh harus
dipilih di luar dari suku. Hal yang sama berlaku di Batu Sangka daerah Rambatan.
Upacara pernikahan di daerah ini di lakukan di dua tempat yaitu Rumah Mempelai
dan Rumah Adat. Acara Ijab Qabul boleh dilaksanakan di Rumah, KUA atau Mesjid
(Surau). Uang mahar yang wajib adalah seperangkat alat sholat yang diserahkan
waktu Ijab Qabul. Ijab Qabul dilaksanakan sebelum acara pernikahan.
Menurut
Martanijus salah satu warga Rambatan, “Pihak
anak daro pergi ke Rumah Gadang Marapulai
setelah sholat Isya dengan membawa dulang
berisi rendang rabu dua puluh enam
potong dipotong prsegi, satu ekor ayam gulai, sembilan belas potong rendang dan
enam mangkok nasi. Anak daro diwajibkan
memakai baju kurung berwarna hitam dengan dukuah
jariang dan maniak polan serta
hiasan kepala tangkuluak tanduak sedangkan Marapulai harus memakai saluak. Sesampainya di sana, istri datuak dari pihak marapulai yang bergelar malin
pantan bertugas menerima dulang yang
dibawa pihak anak daro. Kedua pihak ini duduk di dalam Rumah Gadang membentuk
dua lingkaran, antara pihak anak daro dan marapulai
ada terpisah atau sedikit dijarakkan. Malin
pantan menghidangkan atau menata makanan kepada pihak perempuan. Makanan
yang harus ada, seperti sambal belut, sambal telur dan sambal ikan laut.
Setelah acara makan basamo selesai, niniak mamak dari kedua belah pihak
berpidato atau babaleh pantun untuk
membawa marapulai ke Rumah Gadang
pihak anak daro. Marapulai ditemani oleh orangtua, datuak, niniak mamak, sumando, angku rumah dan penghulu”. Pemuka
adat masih berfungsi sebagaiamna mestinya dan bertanggung jawab atas amanah
yang diembankan kepada mereka. Mereka tidak hanya menjadi simbol dalam kaum namun juga membimbing kaumnya untuk
tetap menhargai adat dan budaya.
Djahidin
merupakan datuak Rambatan menjelaskan
“Pihak marapulai membawa hadiah untuk
anak daro sebagai balasan yang dibawa
oleh pihak anak daro. Hadiah tersebut
berupa handuk, bahan pangan dan Bad
Cover. Setibanya di Rumah Gadang, niniak
mamak dari kedua belah pihak berpidato
atau berpantun untuk membuka acara makan dan minum bersama sedangkan anak daro
sudah pulang ke rumahnya. Selanjutnya marapulai
berpantun kepada niniak mamak perempuan
untuk meminta restu. Marapulai
tinggal di Rumah Gadang anak daro selama
satu hari, sedangkan para prngiringnya berpamitan kepada pihak anak daro dengan cara berpantun atau disebut dengan pantun kapulang”.
Upacara
pernikahan yang dilakukan di Rumah Gadang hanya untuk orang dalam atau kedua
belah pihak (anak daro dan marapulai) memang berasal dari daerah
Rambatan. Apabila salah satu dari kedua belah pihak berasal dari luar daerah
tersebut maka pihak yang berasal dari luar harus mambali suku kepada salah satu kaum yang berbeda suku dengan calon
mempelainya. Meskipun hal ini terlihat sulit, namun tetap ada orang yang mau mambali suku. Keunikan seperti ini tidak
mudah didapatkan. Di Minangkabau tidak semua daerah yang masih memakai adat
seperti ini.
Erin
merupakan putri asli Rambatan menyatakan, “Acara pernikahan (baralek) di rumah dilaksanakan setelah
acara di Rumah Gadang selesai. Baju adat
yang dipakai anak daro adalah baju anak daro dan hiasan kepalanya memakai suntiang. Marapulai memakai baju adat marapulai dengan hiasan kepala bernama saluak. Tamu yang datang adalah
orang-orang jauh atau sanak jauah. Basaluang dilakukan pada malam hari
untuk menghibur tamu. Di sinilah anak
daro dan marapulai bersanding (basandiang duo) di pelaminan”.
Upacara
pernikahan di Batu Sangka khususnya daerah Rambatan masih sangat kental dengan
budaya dan adat Minang. Budaya dan adat sangat dihargai dan dilaksanakan
semestinya di Rambatan. Fenomena seperti ini sudah jarang kita temukan di zaman
sekarang meskipun di ranah Minang. Kita selalu mengaku sebagai orang Minang
tapi pada kenyataannya kita tidak mengerti adat dan budaya Minang. Tragisnya ketidaksadaran
menutup mata kita bahwa kita telah mengganti budaya kita sendiri dengan budaya
asing.
Upacara
pernikahan di Kambang Kabupaten Pesisir Selatan hanya dilaksanakan pada satu
tempat, yaitu di rumah. Upacara pernikahan tidak lagi dilaksanakan di Rumah
Gadang karena sudah tidak layak pakai. Tidak ada satu orangpun yang peduli
dengan keadaan itu. Rumah Gadang diganti dengan Hidangan Prancis. Entah dari
mana kata itu berasal. Itulah potret kehidupan sekarang. Agar hal ini tidak
berkelanjutan sebaiknya setiap individu mengintropeksi diri sendiri. Siapa saya
dan di mana saya berpijak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar