TRADISI
TATO MENTAWAI
oleh Reni Natalia
Melakukan
perjalanan ke Pulau Siberut untuk melihat budaya tradisional orang Mentawai
bisa dimulai dari Padang. Untuk menuju kesana, jalur satu-satunya yang tersedia
hanya lewat laut dengan kapal regular setiap dua kali seminggu rute
Padang-Muara Siberut.
Tantangan berat
akan dijumpai jika pergi ke sana di saat musim ombak, sekitar April hingga
November. Untuk penggemar selancar, waktu-waktu itu bisa jadi surga tapi untuk
mereka yang tak bisa naik kapal laut, perjalanan di bulan-bulan itu akan terasa
amat berat. Kapal akan bergoyang lebih keras, bahkan bisa saja pelayaran
terpaksa ditunda jika ombak terlalu besar dan disertai badai.
Menjelang
memasuki pulau Siberut, kita akan melihat pemandangan menakjubkan yang mungkin
sulit dilupakan, yaitu melihat lumba-lumba yang berlompatan mengiringi kapal
untuk “meminta” makanan dari penumpang kapal. Tak hanya itu, jika musim hujan,
air laut kapal dari Padang akan berhenti di Muara Siberut, ibu kecamatan
Siberut Selatan. Dari sini kita akan melakukan perjalanan ke kampung-kampung
tradisional dengan menggunakan perahu motor sewaan menyusuri sungai Muara
Siberut yang muaranya mengalir di pinggir Muara Siberut.
Kampung
tradisional yang paling dekat dan sering dikunjungi wisatawan adalah jalur
daerah Sarereiket yang meliputi Rogdok, Sakaliou, Madobak, Buttui, dan Attabai.
Masyarakat
tradisional Mentawai juga hidup secara sederhana di kampung-kampung di tengah
hutan atau di hulu-hulu sungai dalam rumah adat yang dinamakan Uma. Uma ini
terpisah satu sama lain, namun mereka sangat menjaga keseimbangan alam.
Penjagaan
keseimbangan dengan alam itu didasarkan kepada kepercayaan mereka terhadap
kekuatan-kekuatan daun-daunan yang terkenal dengan kepercayaan Arat Sabulungan.
Tak heran jika dalam setiap upacara adat orang Mentawai selalu menggunakan
bunga dan daun-daunan.
Dalam konsep
Arat Sabulungan, alam dikuasai oleh roh-roh pelindung yang melindungi mereka
dari berbagai macam bencana alam. Roh pulalah yang menghukum mereka jika mereka
melanggar pantangan atau berbuat kesalahan. Karena orang Mentawai dikenal
sering melakukan upacara ritual untuk melindungi mereka dari bencana, kata Teu
Lakka salah satu anggota dari penduduk asli daerah tersebut.
Salah satu
keunikan masyarakat Mentawai adalah mereka memiliki tradisi membuat tato yang
menghiasi seluruh tubuh mereka. Di Siberut ada sekitar 160 motif tato dan
masing-masing memiliki arti tersendiri dengan mutu dan keindahan yang
memperlihatkan kekuatan ekspresi si pembuat tato, kata Aman Boirok, anak
seorang kepala Suku di saerah itu.
Si pembuat tato
disebut sipatiti. Tato di buat dengan cara menggambar motif tato yang
diinginkan dengan lidi yang dilumuri jegala, arang tempurung, dan dicelup ke
air tebu di bagian yang akan di tato. Setelah itu baru di tato dengan
menggunakan jarum. Biar tidak infeksi, sipatiti mempunyai cara tersendiri yaitu
dengan melumuri tato dengan air tebu.
Bagaimana
rasanya ditato ?
“sakitnya sampai
ke jantung, saat bagian dada saya ditato,” kata Teutaloi ,60 tahun, ketua dewan
adat dewan adat di Ugai, Siberut Selatan.
Ia mengaku
selalu demam setiap kali habis ditato. Tapi rasa sakit yang dirasa tidak
menghalangi Teutaloi untuk kembali mentato bagian tubuhnya yang lain. Hampir
seluruh badannya dihiasi aneka motif tato, meski prosesnya dikerjakan secara
bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun.
Rasa sakit ini pula yang membuat anak-anak
muda mentawai enggan ditato. Alasan seperti itulah yang kemudian membuat
tradisi tato Mentawai mulai langka hingga jarang ditemukan orang Mentawai usia
dibawah 40 tahun yang masih bertato. Uniknya, sebagai sebuah tradisi khas
Mentawai, tak jarang pula para turis
asing yang berkunjung meminta bagian tubuhnya ditato. Permintaan itu biasanya
dipenuhi dengan mentato motif yang tak memiliki arti tertentu, hanya sekedar
hiasan tubuh yang diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar