Kamis, 12 Januari 2012

TRADISI TATO MENTAWAI


TRADISI TATO MENTAWAI
Melakukan perjalanan ke Pulau Siberut untuk melihat budaya tradisional orang Mentawai bisa dimulai dari Padang. Untuk menuju kesana, jalur satu-satunya yang tersedia hanya lewat laut dengan kapal regular setiap dua kali seminggu rute Padang-Muara Siberut.
Tantangan berat akan dijumpai jika pergi ke sana di saat musim ombak, sekitar April hingga November. Untuk penggemar selancar, waktu-waktu itu bisa jadi surga tapi untuk mereka yang tak bisa naik kapal laut, perjalanan di bulan-bulan itu akan terasa amat berat. Kapal akan bergoyang lebih keras, bahkan bisa saja pelayaran terpaksa ditunda jika ombak terlalu besar dan disertai badai.
Menjelang memasuki pulau Siberut, kita akan melihat pemandangan menakjubkan yang mungkin sulit dilupakan, yaitu melihat lumba-lumba yang berlompatan mengiringi kapal untuk “meminta” makanan dari penumpang kapal. Tak hanya itu, jika musim hujan, air laut kapal dari Padang akan berhenti di Muara Siberut, ibu kecamatan Siberut Selatan. Dari sini kita akan melakukan perjalanan ke kampung-kampung tradisional dengan menggunakan perahu motor sewaan menyusuri sungai Muara Siberut yang muaranya mengalir di pinggir Muara Siberut.
Kampung tradisional yang paling dekat dan sering dikunjungi wisatawan adalah jalur daerah Sarereiket yang meliputi Rogdok, Sakaliou, Madobak, Buttui, dan Attabai.
Masyarakat tradisional Mentawai juga hidup secara sederhana di kampung-kampung di tengah hutan atau di hulu-hulu sungai dalam rumah adat yang dinamakan Uma. Uma ini terpisah satu sama lain, namun mereka sangat menjaga keseimbangan alam.
Penjagaan keseimbangan dengan alam itu didasarkan kepada kepercayaan mereka terhadap kekuatan-kekuatan daun-daunan yang terkenal dengan kepercayaan Arat Sabulungan. Tak heran jika dalam setiap upacara adat orang Mentawai selalu menggunakan bunga dan daun-daunan.
Dalam konsep Arat Sabulungan, alam dikuasai oleh roh-roh pelindung yang melindungi mereka dari berbagai macam bencana alam. Roh pulalah yang menghukum mereka jika mereka melanggar pantangan atau berbuat kesalahan. Karena orang Mentawai dikenal sering melakukan upacara ritual untuk melindungi mereka dari bencana, kata Teu Lakka salah satu anggota dari penduduk asli daerah  tersebut. 
Salah satu keunikan masyarakat Mentawai adalah mereka memiliki tradisi membuat tato yang menghiasi seluruh tubuh mereka. Di Siberut ada sekitar 160 motif tato dan masing-masing memiliki arti tersendiri dengan mutu dan keindahan yang memperlihatkan kekuatan ekspresi si pembuat tato, kata Aman Boirok, anak seorang kepala Suku di saerah itu.
Si pembuat tato disebut sipatiti. Tato di buat dengan cara menggambar motif tato yang diinginkan dengan lidi yang dilumuri jegala, arang tempurung, dan dicelup ke air tebu di bagian yang akan di tato. Setelah itu baru di tato dengan menggunakan jarum. Biar tidak infeksi, sipatiti mempunyai cara tersendiri yaitu dengan melumuri tato dengan air tebu.
Bagaimana rasanya ditato ?
“sakitnya sampai ke jantung, saat bagian dada saya ditato,” kata Teutaloi ,60 tahun, ketua dewan adat dewan adat di Ugai, Siberut Selatan.
Ia mengaku selalu demam setiap kali habis ditato. Tapi rasa sakit yang dirasa tidak menghalangi Teutaloi untuk kembali mentato bagian tubuhnya yang lain. Hampir seluruh badannya dihiasi aneka motif tato, meski prosesnya dikerjakan secara bertahap dan memakan waktu bertahun-tahun.
 Rasa sakit ini pula yang membuat anak-anak muda mentawai enggan ditato. Alasan seperti itulah yang kemudian membuat tradisi tato Mentawai mulai langka hingga jarang ditemukan orang Mentawai usia dibawah 40 tahun yang masih bertato. Uniknya, sebagai sebuah tradisi khas Mentawai, tak jarang pula para  turis asing yang berkunjung meminta bagian tubuhnya ditato. Permintaan itu biasanya dipenuhi dengan mentato motif yang tak memiliki arti tertentu, hanya sekedar hiasan tubuh yang diinginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar