Kamis, 12 Januari 2012

MENGARUNGI SUNGAI KE SEKOLAH


MENGARUNGI SUNGAI KE SEKOLAH
Oleh Ririt Vembriwazi


Nasib pelajar yang berasal dari Kampung Lambuang Bukik, Kenagarian Koto Nan Tigo Utara, Kecamatan Sutera, Pesisir Selatan amat memiriskan. Tiap hari mereka mengarungi sungai yang cukup deras untuk sampai ke sekolah. Kalau banjir, mereka tak bisa datang ke sekolah.
Sepatu dan pakaian seragam dibuka ketika hendak menyeberang. Meski demikian, semangat pelajar ini tak pernah pudur. Selain arus yang deras, batu-batu di dasar sungai juga licin. Kalau tak hati-hati, bisa tergelincir dan hanyut. Tidak ada rakit atau perahu yang mengantar mereka menuju seberang.
Di kampung ini, sebanyak 40 pelajar mulai SD sampai SMA menyeberang sungai ke sekolah. Kalau pelajar SD, sampai di seberang bisa jalan kaki, karena jarak sekolah tak terlalu jauh dari pinggir sungai. Akan tetapi, pelajar SMP dan SMA mesti naik ojek dengan ongkos Rp6 ribu pulang pergi.
Ori, 12, yang kini duduk di bangku kelas 6 SDN No. 10 Kayu Gadang ketika mengaku, setiap hari menyeberang sungai untuk sampai ke sekolah. Kalau air sungai besar, ia bersama teman-temanya terpaksa libur. “Banjir yang terjadi 3 November lalu, membuat kami tak bisa datang ke sekolah selama sepekan. Kami merasa rugi, karena banyak materi pelajaran yang tertinggal,” ujarnya.
Dituturkan, menyeberang sungai cukup sulit, karena airnya deras, batu-batu dalam sungai licin pula. Tak jarang, teman-temannya tergelincir dan nyaris hanyut. Buku-buku juga basah sehingga tidak bisa digunakan lagi. “Kami harus membuka seragam sekolah, mengangkat tas dan sepatu agar tidak basah. Namun kami tetap kompak dan saling berpegangan tangan ketika menyeberang sungai. Padahal, air sungai setinggi dada kami dan arusnya cukup deras,” kata Ori.
Butuh sentuhan pembangunan Lambuang Bukik satu-satunya kampung tertua. Sebagian besar warga Kecamatan Sutera dulunya berasal dari kampung tersebut. Tetapi kampung itu kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kondisinya masih terinsolir, belum ada jembatan yang menghubungkan dengan kampung seberang atau Pasar Surantiah. Untuk mengetahui kondisi kehidupan warga di sana, Selasa (6/12) Singgalang berusaha menembus kampung tadi dengan cara menyeberangi sungai. Memang tak gampang menantang arus yang cukup kuat.
Lebar sungai sekitar 90 meter dengan kedalaman 1 meter lebih. Sampai di seberang, terlihat pemandangan yang membuat hati pilu. Jalan kampung masih jalan tanah. Sedangkan jembatan terbuat dari pohon pinang yang disusun.  Tiang listrik sudah ada, tapi sejak setahun belakangan tidak menyala. Sumber listrik berasal dari PLTMH. Informasi dari warga, listrik tak berfungsi, karena terjadi kerusakan, sampai sekarang belum diperbaiki. Sarana air bersih juga belum dibangun. Sebagian warga terpaksa menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, mencuci dan lainnya.
Madi, 60 seorang warga mengatakan, bagaimana nikmatnya hidup dalam suasana kemardekaan belum sepenuhnya dirasakan warga. Warga masih hidup dalam keterisoliran. Belum ada jembatan yang menghubungkan kampung ini dengan kampung lainnya. Kalau pergi ke kampung tetangga, berbelanja atau menjual hasil panen ke Pasar Surantiah, warga harus mengarungi sungai. Tak jarang pula warga ketiban sial, ketika menyeberang terpeleset sehingga barang-barang belanjaan hanyut oleh arus. Kalau membangun rumah, ongkos membawa bahan-bahan bangunan seperti semen mahal pula, Rp10 ribu/karung belum lagi besi, tembok dan seng. Demikian halnya ongkos angkut hasil pertanian dan perkebunan, jelasnya. “Kami berharap agar pemerintah daerah membangun jembatan gantung yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Hal ini sudah sering disampaikan, tetapi hingga saat ini belum ada respon dari pemerintah daerah. Padahal, jembatan tersebut menjadi urat nadi perekonomian. Di samping jembatan, warga membutuhkan puskesmas pembantu, sekolah, sarana air bersih, peningkatan jalan dan penerangan listrik,” ungkap Madi.
Ketua Bamus Nagari Koto Nan Tigo Utara, Jasnal didampingi Kepala Kampung setempat, Slamat menjelaskan, Kampung Lambuang Bukik dihuni 122 KK dengan 612 jiwa.
Umumnya, warga berusaha di sektor pertanian dan perkebunan dengan komoditi gambir, karet, kulit manis dan padi. Luas tanaman gambir 143 hektare dengan rata-rata penghasilan 180 ton/tahun, padi 81 hektare 162 ton/tahun, karet 15 hektare 35 ton/tahun dan kulit manis 8 hektare 7 ton/tahun.
Menurut Jasnal, kebutuhan mendesak bagi warga antara lain pembangunan jembatan gantung, sarana air bersih, Pustu, sekolah dan penerangan listrik. Ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah daerah sehingga kampung ini terbebas dari keterisoliran. “Kami bersama pemerintahan nagari akan terus berupaya mendesak pemerintah daerah memberikan perhatian serius terhadap Kampung Lambuang Bukik sehingga sejajar dengan kampung lainnya di Sutera,” tegasnya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar