Nasib pelajar yang berasal dari Kampung
Lambuang Bukik, Kenagarian Koto Nan Tigo Utara, Kecamatan Sutera, Pesisir
Selatan amat memiriskan. Tiap hari mereka mengarungi sungai yang cukup deras
untuk sampai ke sekolah. Kalau banjir, mereka tak bisa datang ke sekolah.
Sepatu dan pakaian seragam dibuka ketika hendak menyeberang. Meski demikian, semangat pelajar ini tak pernah pudur. Selain arus yang deras, batu-batu di dasar sungai juga licin. Kalau tak hati-hati, bisa tergelincir dan hanyut. Tidak ada rakit atau perahu yang mengantar mereka menuju seberang.
Sepatu dan pakaian seragam dibuka ketika hendak menyeberang. Meski demikian, semangat pelajar ini tak pernah pudur. Selain arus yang deras, batu-batu di dasar sungai juga licin. Kalau tak hati-hati, bisa tergelincir dan hanyut. Tidak ada rakit atau perahu yang mengantar mereka menuju seberang.
Di kampung ini, sebanyak 40 pelajar
mulai SD sampai SMA menyeberang sungai ke sekolah. Kalau pelajar SD, sampai di
seberang bisa jalan kaki, karena jarak sekolah tak terlalu jauh dari pinggir
sungai. Akan tetapi, pelajar SMP dan SMA mesti naik ojek dengan ongkos Rp6 ribu
pulang pergi.
Ori, 12, yang kini duduk di bangku kelas
6 SDN No. 10 Kayu Gadang ketika mengaku, setiap hari menyeberang sungai untuk
sampai ke sekolah. Kalau air sungai besar, ia bersama teman-temanya terpaksa
libur. “Banjir yang terjadi 3 November lalu, membuat kami tak bisa datang ke
sekolah selama sepekan. Kami merasa rugi, karena banyak materi pelajaran yang
tertinggal,” ujarnya.
Dituturkan, menyeberang sungai cukup
sulit, karena airnya deras, batu-batu dalam sungai licin pula. Tak jarang,
teman-temannya tergelincir dan nyaris hanyut. Buku-buku juga basah sehingga
tidak bisa digunakan lagi. “Kami harus membuka seragam sekolah, mengangkat tas
dan sepatu agar tidak basah. Namun kami tetap kompak dan saling berpegangan
tangan ketika menyeberang sungai. Padahal, air sungai setinggi dada kami dan arusnya
cukup deras,” kata Ori.
Butuh sentuhan pembangunan Lambuang
Bukik satu-satunya kampung tertua. Sebagian besar warga Kecamatan Sutera
dulunya berasal dari kampung tersebut. Tetapi kampung itu kurang mendapat
perhatian dari pemerintah. Kondisinya masih terinsolir, belum ada jembatan yang
menghubungkan dengan kampung seberang atau Pasar Surantiah. Untuk mengetahui
kondisi kehidupan warga di sana, Selasa (6/12) Singgalang berusaha menembus
kampung tadi dengan cara menyeberangi sungai. Memang tak gampang menantang arus
yang cukup kuat.
Lebar sungai sekitar 90 meter dengan
kedalaman 1 meter lebih. Sampai di seberang, terlihat pemandangan yang membuat
hati pilu. Jalan kampung masih jalan tanah. Sedangkan jembatan terbuat dari
pohon pinang yang disusun. Tiang listrik
sudah ada, tapi sejak setahun belakangan tidak menyala. Sumber listrik berasal
dari PLTMH. Informasi dari warga, listrik tak berfungsi, karena terjadi
kerusakan, sampai sekarang belum diperbaiki. Sarana air bersih juga belum
dibangun. Sebagian warga terpaksa menggunakan air sungai untuk kebutuhan
sehari-hari seperti minum, mencuci dan lainnya.
Madi, 60 seorang warga mengatakan,
bagaimana nikmatnya hidup dalam suasana kemardekaan belum sepenuhnya dirasakan
warga. Warga masih hidup dalam keterisoliran. Belum ada jembatan yang
menghubungkan kampung ini dengan kampung lainnya. Kalau pergi ke kampung
tetangga, berbelanja atau menjual hasil panen ke Pasar Surantiah, warga harus
mengarungi sungai. Tak jarang pula warga ketiban sial, ketika menyeberang
terpeleset sehingga barang-barang belanjaan hanyut oleh arus. Kalau membangun
rumah, ongkos membawa bahan-bahan bangunan seperti semen mahal pula, Rp10
ribu/karung belum lagi besi, tembok dan seng. Demikian halnya ongkos angkut
hasil pertanian dan perkebunan, jelasnya. “Kami berharap agar pemerintah daerah
membangun jembatan gantung yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Hal ini
sudah sering disampaikan, tetapi hingga saat ini belum ada respon dari
pemerintah daerah. Padahal, jembatan tersebut menjadi urat nadi perekonomian.
Di samping jembatan, warga membutuhkan puskesmas pembantu, sekolah, sarana air
bersih, peningkatan jalan dan penerangan listrik,” ungkap Madi.
Ketua Bamus Nagari Koto Nan Tigo Utara,
Jasnal didampingi Kepala Kampung setempat, Slamat menjelaskan, Kampung Lambuang
Bukik dihuni 122 KK dengan 612 jiwa.
Umumnya, warga berusaha di sektor pertanian dan perkebunan dengan komoditi gambir, karet, kulit manis dan padi. Luas tanaman gambir 143 hektare dengan rata-rata penghasilan 180 ton/tahun, padi 81 hektare 162 ton/tahun, karet 15 hektare 35 ton/tahun dan kulit manis 8 hektare 7 ton/tahun.
Umumnya, warga berusaha di sektor pertanian dan perkebunan dengan komoditi gambir, karet, kulit manis dan padi. Luas tanaman gambir 143 hektare dengan rata-rata penghasilan 180 ton/tahun, padi 81 hektare 162 ton/tahun, karet 15 hektare 35 ton/tahun dan kulit manis 8 hektare 7 ton/tahun.
Menurut Jasnal, kebutuhan mendesak bagi
warga antara lain pembangunan jembatan gantung, sarana air bersih, Pustu,
sekolah dan penerangan listrik. Ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah
daerah sehingga kampung ini terbebas dari keterisoliran. “Kami bersama
pemerintahan nagari akan terus berupaya mendesak pemerintah daerah memberikan
perhatian serius terhadap Kampung Lambuang Bukik sehingga sejajar dengan
kampung lainnya di Sutera,” tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar