Gaya
atau “Gaya”
Oleh
Mohan Dasril
Dahulu,
jauh sebelum masa kemerdekaan atau pada masa revolusi, bergaya dan berdandan
dengan berbagai barang bermerek dan mewah adalah hal yang mustahil. Waktupun
terus berjalan, sekarang bergaya dan berdandan sudah seperti nasi. Makanan wajib setiap orang, semua usia,
dan status sosial. Ingin tampil lebih cantik, menarik, modern, ataupun sekedar
mengikuti pergaulan agar tidak disebut kuper.
Mulai dari pakaian, dandanan, gadget,
sampai kendaraan pun selalu diupayakan untuk tampil update. Apa yang salah? Tidak
ada yang salah. Hal ini salah hanya jika kita memaksakan diri mengikuti
perkembangan gaya dan mode, sementara kita tidak mampu untuk mengikutinya.
Mengorbankan kebutuhan dasar hanya untuk sebuah tren yang akan selalu
berubah-ubah.
“Tren,
mode, gaya, fashion, dan banyak lagi nama lainnya, selalu bersifat fatamorgana.
Selalu akan begitu. Ketika kita akan mengikutinya, tiba-tiba ia menghilang dan
tampak lagi di kejauhan”, ungkap Syafrie (25 tahun), seorang pekerja salon di
salah satu sudut kota Padang ketika diwawancarai, Selasa kemarin. “Orang yang
sanggup mengikuti mode, sebenarnya hanyalah kalangan berkantong tebal saja.
Kita-kita ja orang miskin sok-sok ngikutin mode”. Lanjut lelaki yang lebih
senang dipanggil mbak Iie ini. Semua
gadis ingin tampil cantik, semua lelaki ingin tampil menarik, namun semuanya
itu kembali lagi kepada kebutuhan dan kesanggupan masing-masing. Tidak hal yang
lebih baik lagi daripada sesuatu yang memang cocok bagi pribadi masing-masing.
“Mengikuti
mode, gampang—gampang susah kok, meskipun lebih banyak susahnya”, ungkap Lala,
seorang mahasiswi di salah satu universitas di kota Padang ketika diwawancarai
di kampusnya. Menentukan mode, gaya, dan style yang tepat tidaklah mudah.
Mungkin lebih mudah belajar matematika ynag hasilnya pasti daripada gaya yang
hasilnya selalu berubah-ubah setiap saat. Hal yang dianggap paling terbaru,
dalam hitungan hari saja sudah bisa dikatakan ketinggalan zaman. Memilih
komposisi ukuran, warna, sampai harga dari sebuah sepatu saja bisa menghabiskan
waktu berjam-jam di toko atau pedagang kaki lima. Lebih rumitnya lagi, apabila
kita mengikuti aliran mode dunia seperti harajuku,
Korea, Eropa, Amerika, retro, punk, rock
and roll, dan lainnya, sangatlah tidak mudah dan murah. Semua
perlengkapan dan pernak-perniknya saja dapat membuat kita puasa satu bulan.
Gaya
hanyalah sebuah gaya, sebuah sarana ekspresi diri. Dengan kata lain, kitalah
pengendali gaya, bukan sebaliknya. Mengekspresikan diri tidaklah terikat pada
orang lain atau sebuah tren, tetapi hanya berpatokan kepada perasaan dan diri
sendiri.
“Apa
yang kita cari dalam kebiasaan mengikuti mode? Kesenangan hati karena kita
shopaholic? Takut dibilang ketinggalan? Atau sekadar jaga gengsi? Itulah yang
mesti kita jawab sebelum kita terlanjur konsumtif tanpa ujung karena memaksakan
diri mengikuti tren mode ini”, ungkap Anisa (21 tahun), seorang mahasiswi di
salah satu perguruan tinggi di kota Padang. Anisa yang mengaku menjadi korban
mode ini mengatakan bahwa ia kapok dan tidak mau lagi memaksakan diri untuk
mengikuti perkembangan mode. Dulu, ia korbankan uang kuliahnya hanya untuk
membeli sebuah baju model terbaru dan terpopuler kala itu, hanya satu bulan
saja, model baju iitu menjadi basi dan digantikan oleh model lainnya. Betapa
menyesal ia kala itu. Sekarang ia hanya mau berpakaian seperti apa yang ia mau
dan ia sanggupi saja.
Gaya,
mode, dan waktu itu sama. Sama-sama berubah dan berlalu dengan cepat. Daripada
hanya mengikuti sebuah tren, alangkah lebih baiknya jika kita menciptakan tren
tersendiri. Bukankah mode dan gaya itu memang berfungsi untuk membuat kita
tampil beda? Bukankah gaya dan mode itu merupakan sarana ekspresi diri?
Bukankah lebih baik diikuti daripada mengikuti orang lain? Selain dapat menjadi
trendsetter, kita juga dapat mengekspresikan gaya yang benar-benar dari hati
kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar