Kamis, 12 Januari 2012

Gaya atau “Gaya”


Gaya atau “Gaya”

Dahulu, jauh sebelum masa kemerdekaan atau pada masa revolusi, bergaya dan berdandan dengan berbagai barang bermerek dan mewah adalah hal yang mustahil. Waktupun terus berjalan, sekarang bergaya dan berdandan sudah seperti  nasi. Makanan wajib setiap orang, semua usia, dan status sosial. Ingin tampil lebih cantik, menarik, modern, ataupun sekedar mengikuti pergaulan agar tidak disebut kuper. Mulai dari pakaian, dandanan, gadget, sampai kendaraan pun selalu diupayakan untuk tampil update. Apa yang salah? Tidak ada yang salah. Hal ini salah hanya jika kita memaksakan diri mengikuti perkembangan gaya dan mode, sementara kita tidak mampu untuk mengikutinya. Mengorbankan kebutuhan dasar hanya untuk sebuah tren yang akan selalu berubah-ubah.
“Tren, mode, gaya, fashion, dan banyak lagi nama lainnya, selalu bersifat fatamorgana. Selalu akan begitu. Ketika kita akan mengikutinya, tiba-tiba ia menghilang dan tampak lagi di kejauhan”, ungkap Syafrie (25 tahun), seorang pekerja salon di salah satu sudut kota Padang ketika diwawancarai, Selasa kemarin. “Orang yang sanggup mengikuti mode, sebenarnya hanyalah kalangan berkantong tebal saja. Kita-kita ja orang miskin sok-sok ngikutin mode”. Lanjut lelaki yang lebih senang dipanggil mbak Iie ini. Semua gadis ingin tampil cantik, semua lelaki ingin tampil menarik, namun semuanya itu kembali lagi kepada kebutuhan dan kesanggupan masing-masing. Tidak hal yang lebih baik lagi daripada sesuatu yang memang cocok bagi pribadi masing-masing.
“Mengikuti mode, gampang—gampang susah kok, meskipun lebih banyak susahnya”, ungkap Lala, seorang mahasiswi di salah satu universitas di kota Padang ketika diwawancarai di kampusnya. Menentukan mode, gaya, dan style yang tepat tidaklah mudah. Mungkin lebih mudah belajar matematika ynag hasilnya pasti daripada gaya yang hasilnya selalu berubah-ubah setiap saat. Hal yang dianggap paling terbaru, dalam hitungan hari saja sudah bisa dikatakan ketinggalan zaman. Memilih komposisi ukuran, warna, sampai harga dari sebuah sepatu saja bisa menghabiskan waktu berjam-jam di toko atau pedagang kaki lima. Lebih rumitnya lagi, apabila kita mengikuti aliran mode dunia seperti harajuku, Korea, Eropa, Amerika, retro, punk, rock and roll, dan lainnya, sangatlah tidak mudah dan murah. Semua perlengkapan dan pernak-perniknya saja dapat membuat kita puasa satu bulan.
Gaya hanyalah sebuah gaya, sebuah sarana ekspresi diri. Dengan kata lain, kitalah pengendali gaya, bukan sebaliknya. Mengekspresikan diri tidaklah terikat pada orang lain atau sebuah tren, tetapi hanya berpatokan kepada perasaan dan diri sendiri.
“Apa yang kita cari dalam kebiasaan mengikuti mode? Kesenangan hati karena kita shopaholic? Takut dibilang ketinggalan? Atau sekadar jaga gengsi? Itulah yang mesti kita jawab sebelum kita terlanjur konsumtif tanpa ujung karena memaksakan diri mengikuti tren mode ini”, ungkap Anisa (21 tahun), seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di kota Padang. Anisa yang mengaku menjadi korban mode ini mengatakan bahwa ia kapok dan tidak mau lagi memaksakan diri untuk mengikuti perkembangan mode. Dulu, ia korbankan uang kuliahnya hanya untuk membeli sebuah baju model terbaru dan terpopuler kala itu, hanya satu bulan saja, model baju iitu menjadi basi dan digantikan oleh model lainnya. Betapa menyesal ia kala itu. Sekarang ia hanya mau berpakaian seperti apa yang ia mau dan ia sanggupi saja.
Gaya, mode, dan waktu itu sama. Sama-sama berubah dan berlalu dengan cepat. Daripada hanya mengikuti sebuah tren, alangkah lebih baiknya jika kita menciptakan tren tersendiri. Bukankah mode dan gaya itu memang berfungsi untuk membuat kita tampil beda? Bukankah gaya dan mode itu merupakan sarana ekspresi diri? Bukankah lebih baik diikuti daripada mengikuti orang lain? Selain dapat menjadi trendsetter, kita juga dapat mengekspresikan gaya yang benar-benar dari hati kita sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar