Upacara
Turun Mandi di Minangkabau
Oleh Yefri Pratama
Malangkah
di ujuang pedang, basilek di pangka karih
Kato
salalu baumpamo, rundiang selalu bakiasan.
Kata-kata di atas adalah salah satu mustika berhagra
milik Minangkabau lewat petatah-petitih dan masih banyak lagi kekayaan Minangkabau
melalui upacara-upacara adat, kesenian serta motif adat. Alam Minangkabau memang
menarik untuk dipelajari, karena alam Minangkabau menyimpan berbagai macam
mustika yang dapat dijadikan pengangan hidup dan pelajaran. Alam takambang
jadai guru adalah dasar dari alam Minangkabau dengan tidak mengesampingkan
syarak (agama).
Kita akan mengupas sedikit dari kekayaan alam Minangkabau
dari sisi upacara adat turun mandi. Saya telah mewawancarai beberapa orang
narasumber yang memang asli pribumi Minangkabau.
Pertama, nenek yang sudah paroh abat, Nurleka. Sebangai orang yang dituakan di
kampung Taratak Bukareh, Solok Selatan ia menceritakan seluk beluk upacara
turun mandi dari awal sampai akhir. Sebagai orang yang dituakan di kampung itu,
tentu anga sebutan akrap nenek tua
itu tentu telah merasakan asam garam serta pahit manisnya kehidupan di Minangkabau.
Dari mulutnyalah aku mendapatkan banyak informasi tentang upacara turun mandi,
setelah aku bertanya berulang kali dengan pertanyaan yang sama. Kedua Sardani,
seorang yang sudah berkepala lima. Ketiga, Dodi. Seorang pemuda di kampungku.
Dari merekalah aku bisa bercerit banyak sedikitnya tentang salah satu mutiara
yang dimiliki oleh masyarakat Minang ini, upacara turun mandi.
Upacara turun mandi adalah upacara yang masih mendarah
daging sampai saat ini oleh masyarakat Minangkabau. Upacara turun mandi adalah
upacara untuk mengucapkan syukur atas nikmat yang tak ternilai dari Allah. Upacara
turun mandi merupakan ritual untuk mensyukuri nikmat Allah (berupa bayi) yang
baru lahir. Upacara ini juga merupakan sunnah rasul dan memperkenalkan kepada
masyarakat bahwa telah lahir keturunan baru dari sebuah suku atau keluarga
tertentu. Dalam pelaksaanan upacara ini, harus memperhatiakan syarat-syarat
yang telah kental di masyarakat Minang.
Upacara turun mandi harus di laksanakan di sungai (batang
aie) dan tidak boleh dilakukan hanya dengan membawa air ke halaman rumah tanpa
ke sungai. Yang membawa anak ini dari rumah
ke sungai adalah orang yang berjasa membantu proses persalinan (dukun yang manjawek). Orang-orang
biasanya menggunakan istilah itu, tapi sekarang sudah canggih mungkin bidan
atau dokter yang menolong proses melahirkan tersebut. Upacara turun mandi ini
dilakukan dengan cara mengkondisikan keadaan ibu, apabila sudah kuat si ibu yang melahirkan maka sudah
boleh dilakukan upacara ini. Bagi yang ingin melakukan upacara ini maka ibu dan
anak yang baru lahir tidak boleh dulu keluar dari rumah. Upacara turun mandi
inilah pertama kalinya bagi si bayi untuk melihat lingkungan dan masyarakat
sekitar.
Banyak lagi syarat-syarat yang harus disiapkan sebelum
upacara turun mandi ini diselenggarakan. Pertama, batiah bareh badulang beras yang digoreng, pop corn kalau itu
jagung. Batiah ini bertujuan untuk dibagikan kepada anak-anak kecil yang pergi
mengikuti upacara turun mandi ini. Kalau upacara ini diselenggarakan biasanya
banyak anak-anak kecil yang ikut melihat, maka sebagai ucapan terimakasih dan
memperkelalkan bagi dengan teman-teman itu kelak. Kedua, sigi kain buruak (obor yang terbuat dari kain-kain yang telah
robek). Sigi ini dibakar dari rumah
dan dibawa ke tempat upacara atau ke sengai tempat anak itu akan dimandikan. Sigi kain buruak ini memiliki makna jikok kalam basigi, jikok licin batungkek
yaitu mengajarkan kepada bagi bahwa jika kelak telah besar nanti tidak ada satu
hambatanpun dalam menuntut ilmu (dunia dan akhirat). Ketiga, Tampang karambia tumbua (bibit kelapa
yang siap tanam). Setelah sampai di tempat upacara anak ini dimandikan lalu
bibit kelapa tadi dihanyutkan dari atas lalu ditangkap oleh ibunya setelah
kelapa tersebut mendekati anak. Ini bermakna manyambuik semangat anak yang tasirok
(terkejut) karena dinginnya air sungai. Setelah pulang kelapa ini ditanam dan
inilah nanti menjadi bekal hidup si anak kelak. Keempat, Tangguak alat yang digunakan untuk menangkap ikan. Simbol tangguak melambangkan juga untuk bekal
ekonomi si bayi kelak (tangguak rasaki).
Tangguak ini untuk meletakkan syarat
yang kelima, yaitu batu yang diambil dari sungai sebanyak tujuh buah. Nanti
batu ini bersama syarat lainnya (tampang
karambia,) dimasukkan ke dalam tangguak
dan dibawa pulang. Batu inilah yang dimasukkan kedalam lubang tempat karambia ditanam. Batu ini juga
berfunggsi sebangai panjawek semangat
anak dan untuk persiapan ekonomik anak kelak.
Karena begitu
kentalnya kebudayaan minangkabau maka satu syarat lagi tidak boleh terlupakan,
yaitu palo nasi (nasi yang terletak
paling atas) yang telah dilumuri dengan arang serta daran ayam. Dua syarat ini
bertujuan untuk mengusin setan, makluk halus yang ingin ikut meramaikan upacara
tersebut. Syarat ini disiapkan sebanyak tiga cawan atau bejana. Dua untuk diletakkan dijalan menuju sungai yang
jaraknya sudah diatur dan disesuaikan, satu dibawa ke sungai tempat upacara
berlangsung. Buliah nak jan tasapo kecek
urang awak.
Itulah rangkaian upacara adat turun mandi. Setelah itu
maka rombongan yang pergi kembali kerumah dan diberi makan. Tentu dengan
hidangan yang menggugah selera. Memang Minangkabau adalah sebuah kebudayaan
tinggi yang tak lakang dek paneh, tak
lapuak dek hujan sebagai ciri bangsa Indonesia yang memiliki heterogen kebudayaan dari Sabang sampai Meraoke.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar